Raissa selalu menemukan kedamaian di pantai. Suara ombak yang menerpa karang dan hembusan angin laut yang membawa aroma garam adalah melodi yang menenangkan jiwanya. Di sana, ia sering duduk di atas batu karang, memandang cakrawala yang luas, dan menuliskan kisah-kisah cinta dalam buku diarynya.
Suatu hari, Raissa bertemu dengan Alfan, seorang nelayan muda yang sering ia lihat memancing di dermaga. Alfan memiliki wajah yang rupawan, tetapi matanya bersinar dengan kebijaksanaan. Mereka sering mengobrol tentang banyak hal, mulai dari cuaca hingga filsafat hidup. Raissa merasa nyaman berada di dekat Alfan. Ada ketulusan dalam setiap kata-katanya yang membuat Raissa merasa tenang.
Lama-kelamaan, Raissa menyadari bahwa perasaannya pada Alfan telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Ia jatuh cinta pada sosok muda yang bijaksana itu. Namun, ia ragu untuk mengungkapkan perasaannya karena takut akan reaksi orang-orang di sekitarnya. Pasalnya, perbedaan kasta mereka sangat jauh.
Raissa berkali-kali mencoba melupakan perasaannya. Ia mencari teman baru, mengikuti berbagai kegiatan, tetapi hatinya selalu kembali pada Alfan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan hati berdebar, Raissa mencari Alfan di dermaga.
"Alfan, saya... saya ingin jujur pada Anda," ucap Raissa gugup.
Alfan tersenyum lembut. "Katakan saja, Raissa. Aku akan mendengarkan."
Raissa menarik napas dalam-dalam. "Saya... saya mencintai Alfan."
Alfan terdiam sejenak. Kemudian, ia berkata, "Aku juga menyayangimu, Raissa. Tapi, kita harus sadar bahwa kita memiliki perbedaan kasta yang sangat jauh." Raissa merasa sedih. Namun, Alfan melanjutkan, "Cinta itu indah, ya. Tapi cinta juga harus realistis. Kita harus memikirkan masa depan kita."